“Pendidikan Untuk Nilai Atau Nilai Untuk Pendidikan?”
Deus
Providebit, kembali berjumpa lagi dengan tulisan sederhana ini yang masih
membahas sesuatu yang berbeda namun tetap ada pembelajaran didalamnya untuk
kita refleksikan dalam hidup sehari-hari. Berkaitan dengan Hari Pendidikan
Nasional yang diperingati setiap tanggal 2 Mei, maka tulisan berikut
menyesuaikan dengan tema tersebut.
Judul
tulisan tersebut retoris dan mengajak kita berpikir apakah memang pendidikan
kita terima, kita lakukan, kita geluti, kita perjuangkan hanya untuk sekadar
nilai di kertas ijazah ataukah pendidikan kita terima, kita lakukan, kita
geluti, kita perjuangkan hanya untuk sekadar nilai kehidupan di masa yang akan
datang?
Saya
mengajak kita melihat sekilas sebuah film Indonesia produksi sekitar tahun 2012
yaitu “Sang Pencerah”, dibintangi oleh Lukman Sardi, Slamet Rahardjo Djarot,
Zaskia Mecca, Agus Kuncoro Adi, dan lain-lain. Filmnya bercerita mengenai kisah
hidup KH. Ahmad Dahlan pendiri organisasi Muhammadiyah mulai dari beliau
remaja, menimba ilmu di Mekkah, kembali ke Kauman (Yogyakarta), menjadi pembaharu
nilai-nilai Islam, pro kontra dalam memahami ajaran Islam hingga pendirian
Muhammadiyah menjadi salah satu organisasi Islam terkemuka di Indonesia. Saya
sangat tertarik membahas film Sang Pencerah ini karena apa yang dilakukan KH.
Ahmad Dahlan (maaf jika saya lancang namun saya sangat terinspirasi) sama
dengan yang dilakukan Yesus Kristus dalam “mendidik” umat untuk kembali ke
pemahaman ajaran agama yang baik. Nah proses pendidikan inilah yang saya mau
bahas dalam tulisan ini.
sumber gambar https://assets-a1.kompasiana.com/statics/files/14260359391818123029.jpg
Dalam
awal film Sang Pencerah, KH. Ahmad Dahlan (nama beliau awalnya adalah Muhammad
Darwis, setelah belajar di Mekkah dan menjadi haji nama beliau berubah menjadi
Ahmad Dahlan. Seiring tradisi waktu itu, pulang ibadah haji dan belajar di
Mekkah diberikan nama baru oleh pihak pengajar di Mekkah) melihat ajaran agama
Islam dipengaruhi oleh Syekh Siti Jenar, seorang pengajar Islam terkemuka yang “menggabungkan”
Islam dengan budaya Jawa (kejawen). Banyak praktik-praktik Islam digabungkan
dengan klenik seperti misalnya memberi sesajen di tempat-tempat keramat
tertentu agar keinginan dapat terwujud, KH. Ahmad Dahlan berusaha untuk
membantu umat memahami ajaran Islam yang sesuai bukan malah disalahgunakan
untuk hal-hal yang keliru bahkan musyrik (menyekutukan Tuhan)
Yang
dilakukan KH. Ahmad Dahlan serupa dengan Yesus saat Ia turun ke dunia untuk
menyelamatkan manusia, saat Yesus sudah berusia sekitar 30an tahun, Yesus mulai
mengajar mengenai cinta kasih Allah kepada masyarakat Yahudi. Pada waktu itu,
masyarakat Yahudi “tersiksa” dengan kewajiban agama yang sangat membebani.
Ajaran Taurat yang seharusnya membuat nyaman malah diselewengkan oleh ahli-ahli
Taurat (orang Farisi) sehingga menguntungkan orang Farisi namun menyiksa umat.
Salah satunya yaitu kewajiban untuk membawa persembahan hewan kurban di Bait Allah,
seharusnya persembahan dibawa dari rumah (dipersiapkan sebelum ke Bait Allah)
namun oleh orang Farisi pedagang persembahan hewan kurban (burung merpati,
kambing, domba) malah diperbolehkan berjualan di serambi luar Bait Allah sehingga
membuat kumuh Bait Allah dan mengganggu kekhusukan beribadah. Yesus pun
menghardik pedagang tersebut dan menjungkirbalikkan dagangan pedagang lalu
mengkritik orang Farisi dengan sebutan keras munafik.
sumber gambar https://i0.wp.com/rubrikkristen.com/wp-content/uploads/2018/12/Riwayat-hidup-Yesus.jpg?fit=755%2C636&ssl=1
Dua
contoh tersebut hanya sebagian dari cara mendidik KH. Ahmad Dahlan dan Yesus
Kristus agar umat kembali kepada pemahaman agama yang benar, baik dan bukan
malah membuat tersiksa umat dengan beban pemikiran agama harus dengan syarat
ini-itu. Bagaimana dua tokoh tersebut mendidik umat? Ada 2 contoh yang mau saya
refleksikan,
1.
Dalam salah satu adegan, murid-murid KH.
Ahmad Dahlan bersiap untuk dididik oleh beliau, lalu ada salah satu murid yang
bertanya, “agama itu apa kyai?” beliau tidak langsung menjawab lalu memainkan
biolanya dengan sangat merdu. Setelah memainkan biola beliau bertanya, “apa
yang kalian rasakan sewaktu mendengar suara biola tadi?” murid-murid mengatakan
syahdu enak didengar, seolah-olah masalah hilang sesaat, seperti mimpi. Lalu
beliau menyuruh salah satu muridnya untuk memainkan biola tersebut, alhasil si
murid yang belum mahir main biola mengeluarkan suara yang berisik, tidak merdu
bahkan merusak telinga karena sumbang nadanya. KH. Ahmad Dahlan bertanya lagi, “bagaimana
suaranya?” murid-murid menjawab serempak kacau. Beliau melanjutkan, “seperti
itulah agama jika dipahami secara tidak benar maka akan membawa kekacauan tidak
bermanfaat untuk umat.”
Dari adegan film tersebut, sudah jelas
tergambarkan bagaimana cara berpikir KH. Ahmad Dahlan dalam mendidik umat
terutama murid-murid perdananya agar agama dipahami secara benar-benar agar tidak
terjadi kesalahpahaman yang mungkin malah jadi tertawaan bahkan cemoohan orang
lain. Lebih fatalnya jika akhirnya tidak ada orang yang mau ikut agama tersebut
karena tidak membawa kedamaian bagi sesama.
2.
Bagaimana dengan Yesus? Bagi umat Kristiani,
sudah banyak contoh kisah Yesus yang mendidik banyak orang termasuk 12
murid-Nya dengan cara yang sangat dekat dengan hidup umat sehari-hari. Yesus mendidik
menggunakan perumpamaan dan mukjizat, kita fokus pada perumpamaan (cerita) ya.
Salah satu perumpamaan Yesus yang terkenal yaitu mengenai domba yang hilang, Yesus
menggambarkan seorang gembala yang kehilangan seekor domba dari 100 ekor yang
dimiliki lalu domba tersebut dicari hingga akhirnya ditemukan. Lalu si gembala
kembali ke rumahnya lalu mengadakan pesta karena seekor dombanya yang hilang
berhasil ditemukan dalam keadaan selamat. Yesus menceritakan hal itu untuk
menggambarkan bahwa Kerajaan Allah berpihak dan mencari orang yang berdosa, domba
yang hilang digambarkan sebagai orang yang berdosa maka Tuhan dalam sosok
gembala akan mencari orang berdosa tersebut bukan mencari orang benar saja.
Cerita tersebut ditutup Yesus dengan sebuah kalimat “akan ada sukacita besar di
surga karena 1 orang berdosa bertobat dibandingkan 99 orang benar yang tidak
memerlukan pertobatan.”
Dari kisah Yesus tersebut tergambarkan juga
bagaimana Yesus mendidik umat dengan cara yang sangat humanis, tidak ada beban
dari umat mendengar ajaran Yesus tersebut. Tidak ada kewajiban harus hapal
persembahan ini itu, semua diajarkan Yesus untuk semua kelompok masyarakat
bahkan orang berdosa pun diperhatikan oleh Yesus. Tidak seperti orang Farisi
yang justru malah menjauhi orang berdosa bahkan merasa jijik jika bertemu orang
berdosa.
Maka,
dua contoh tersebut menjadi bahan refleksi dalam tulisan ini bahwa PENDIDIKAN
menjadi suatu hal penting dalam proses hidup kita masing-masing. Entah apapun
profesi anda sekarang ini, apakah seorang profesional, karyawan, direktur,
wiraswasta, guru, pelajar/mahasiswa, pengemudi ojek daring, ibu rumah tangga,
dan lain-lain perlu disadari bahwa
pendidikan akan selalu melekat dalam hidup kita. Bahkan anda bisa menjadi
seorang pendidik tanpa harus sekolah formal pendidikan, anda bisa mendidik
nilai-nilai hidup yang didapatkan dari seorang pengemudi ojek daring, bisa
mendidik kiat-kiat berbisnis dari seorang direktur, bisa mendidik bagaimana
membuat kue dari seorang ibu rumah tangga, bisa mendidik cara hitung cepat dari
seorang pelajar. Semua bisa mendidik tentu dalam porsi dalam bidang yang ia
kuasai, yang ia geluti, yang ia pahami lalu ia bagikan ke orang lain sesuai
profesinya. Apakah mudah dalam mendidik itu? Tentu tidak mudah, kita harus
punya ilmu yang bisa dibagikan untuk kemudian mendidik orang lain. Bagi
mahasiswa kependidikan atau guru, ilmu kependidikan secara teori tentu
diajarkan di kampus dan dilatih dalam proses mengajar di sekolah namun bagi
pribadi yang bukan berkutat di bidang pendidikan tentu akan lain cerita tapi
tetap saja apapun profesinya maka ia bisa untuk MENDIDIK.
Jadi,
PENDIDIKAN bukanlah sebuah kata yang menyeramkan untuk dibahas, uraian diatas
sudah menjelaskan bahwa pendidikan bisa dilakukan siapa saja asalkan ada NIAT
dan KEINGINAN untuk mau berbagi ilmu yang dimiliki agar bermanfaat untuk kebaikan
sesama apapun profesi anda. Sudah siapkah untuk mendidik? Selamat hari
pendidikan nasional, selamat berproses dalam mendidik, Deus Providebit.
Hari
Lahir Ki Hajar Dewantara
@ant_gindo
Komentar
Posting Komentar